Senin, 06 Desember 2010

KONFLIK STRUKTUR PARTAI POLITIK DI INDONESIA
OLEH: DEBORA HILDERIA MARBUN

Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Hubungan ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat yang melahirkannya. Kalau kelahiran partai politik sebagai pengejewantahan dari kedaulatan rakyat dalam politik formal, maka semangat kebebasan selalu dikaitkan orang dalam membicarakan partai politik sebagai pengendali kekuasaan.
Sebagaimana dikatakan Carl.J.Friederich bahwa, partai poltik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara mapan dengan tujuan untuk menjamin dan mepertahanlan pemimpin-pemimpinnya,tetap mengendalikan pemerintahn dan lebih jauh lagi memberikan keuntungan-keuntungan terhadap anggota partai baik keuntungan yang bersifat materiil maupun spirituiil.
Partai poltik sering dianggap sebagi salah satu atribut negara demokrasi modern, dan tidak ada seorang ahlipun dapat membantahnya, karena partai politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat.
Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat,juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat.
Partai politik,sering diasosiasikan sebagai organisasi perjuangan, tempat seseorang/kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik dalam negara. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik tidak harus menggunakan kekerasan/kekuatan fisik, tetapi melalui berbagai konflik dan persaingan baik intern partai maupun antar partai yang terjadi secara melembaga dalam partai politik umumnya.
Dilihat dari sudut ideologi dasar,munculnya partai politik di Indonesia pada masa pra kemerdekaan secara garis besar adalah sebagai akyualisasi dari tiga aliran atau pandanagan politik yang menemukan momentum kelahirannya pada dekade abat ke20.Ketiga aliran itu ialah Islam,Nasionalisme,daan Marxisme/Sosialisme.Aktualisasi aliran Islam muncul pertama dalam
Ashmad Syafe’i Ma’arif mengkonstanti, bahwa perpecahan dalam partai politik bukan karena perbedaan penafsiran terhadap ideologi yang dianut, tetapi kerena perbedaan pandangan dalam membawa ideologi itu menjadi aktual. Hal ini menyangkut sikap terhadap pemerintah Hindia Belanda,misalnya dari non-kooperatif ke kooperatif.
Dengan konflik yang berkepanjangan dalam tubuh badan Konstituante dalam merumuskan UUD yang bersifat tetap,mendorong Presiden Soekarno menggunakan kekuasaan ekstrakonstitusional dengan Dekritnya dan melahirkan demokrasi terpimpin.Masa ini tampak kekuasaan Presiden Soekarno mengisap hampir seluruh kekuasaan yang ada disekelilingnya dan berakhirlah kekuasaan partai-partai politik.
Di dalam sejarah politik Indonesia, Pemilu 1999 adalah Pemilu yang diikuti oleh paling banyak peserta setelah Pemilu 1955. Ada 48 partai yang mengikuti Pemilu 3 tahun lalu itu. Itu yang mengikuti Pemilu. Kalau hanya sekedar mendaftarkan diri ke pemerintah (Departemen Kehakiman dan HAM) pada waktu itu ada 141. Untuk mengingat kembali partai-partai tersebut berikut ini bisa dibaca profil masing-masing partai tersebut. Di dalamnya terdapat informasi mengenai nama partai, ketua umum dan sekretaris jenderal, alamat, tujuan dan asasnya, serta sejarah singkatnya.
Kecenderungan konflik internal hingga dualisme kepemimpinan partai politik pascakongres atau muktamar kembali terjadi. Kongres PDIP di Bali membelah kepemimpinan PDIP menjadi dua poros kekuatan, antara DPP PDIP Megawati di satu sisi dengan GP PDIP-nya Roy BB Janis di sisi lain. Muktamar PKB di Semarang membuat dualisme kepemimpinan: Gus Dur-Muhaimin Iskandar berhadapan dengan DPP PKB versi Alwi Shibah dan Syaifullah Yusuf yang didukung oleh poros Kiai Langitan-Lirboyo. Sebelumnya soliditas kepemimpinan DPP PPP juga retak oleh konflik internal antara kaukus elite DPP pro-Silatnas (Silaturahmi Nasional) yang anti Hamzah Haz dengan yang anti Silatnas yang pro Hamzah Haz. Fenomena kepengurusan kembar partai politik (parpol) di Indonesia sebagai imbas konflik internal partai sebenarnya merupakan fenomena klasik dalam politik kepartaian di Indonesia.
Pembelahan organisasi telah mengakar dalam tradisi politik di Indonesia semenjak era kolonialisme hingga membudaya di alam kemerdekaan, masa Soekarno, Orde Baru (Orba) sampai sekarang ini. Faktornya berbeda-beda. Di jaman kolonial, terjadi akibat rivalitas atau proses radikalisasi ideologi, seperti kasus perpecahan Syarikat Islam (SI) di tahun 1920-an menjadi SI “merah”-nya Semaoen dan SI “putih”-nya HOS Tjokroaminoto.
Jaman Reformasi Bisa disimpulkan dalam lintasan sejarah kepartaian di Indonesia, pembelahan (perpecahan) parpol yang menghasilkan dualisme kepemimpinan struktural disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, radikalisasi ideologi. Kedua, intervensi kekuasaan dalam kerangka kepentingan de-ideologisasi dan de-parpolisasi. Ketiga, strategi resistensi sosial partai.
Lantas bagaimana kita me-nempatkan realitas ini di masa reformasi? Apakah bisa dikatakan konflik partai di era reformasi diakibatkan intervensi pemerintah, atau karena proses radikalisasi ideologi, ataukah oleh sebab lain?
Terhambatnya proses regenerasi akibat pola kepemimpinan yang patronatif, kharismatik, feodalistik yang menjegal kompetisi demokratis dalam pergantian kepemimpinan partai. Karena tokoh yang kharismatik di dalam partai masih ingin mempertahankan otoritasnya, sementara kekuatan reformis atau dekonstruksi di jajaran kader semakin kuat dan menuntut proses percepatan suksesi. Ini terjadi di partai-partai tradisional yang mengandalkan ikon kepemimpinan partai yang kharismatik dan berbasiskan loyalitas massa kepada figur pemimpin partai.
Intervensi kekuasaan politik dan modal, yang pada umumnya dilakukan poros kepentingan yang merepresentasikan keinginan pemerintah untuk menumpulkan resistensi oposisional partai terhadap kebijakan pemerintah. Intervensi modal terjadi dan dilakukan oleh kekuatan bisnis yang menjadikan parpol sebagai kendaraan untuk mempermudah penguasaan aset politik yang dekat relasinya dengan sumber daya ekonomi. Intervensi modal dan intervensi kekuasaan politik ini mendorong lahirnya budaya money politics, intrik politik, politik dagang sapi dalam arena kongres atau muktamar partai. Muncul pertanyaan: Mengapa partai-partai mudah sekali terbawa arus perpecahan yang menyulut lahirnya dualisme kepemimpinan?
Perpecahan di tubuh partai yang kini marak juga dipengaruhi kondisi internal partai-partai yang pada umumnya masih merupakan partai tradisional, yang hanya aktif dan memiliki orientasi berkompetisi dalam pemilu, yang mengandalkan ikatan perekat antara organisasi dan dukungan massa melalui kharisma ketokohan, serta yang merepresentasikan diri sebagai partai aliran.
Watak tradisionalisme kepartaian di Indonesia inilah yang menjadikan partai gagal menjalankan fungsi normatif politik, baik dalam hal edukasi politik massa konstituen, rekruitmen kader kepemimpinan internal dan eksternal, komunikasi politik serta aktifitas transformasi konflik. Kegagalan fungsi normatif partai akhirnya menumbuhkan pola pikir dan perilaku pragmatis di antara kaukus elite/kader pengurus partai. Mereka aktif di partai dengan tujuan berkarir di parlemen dan pemerintahan, serta dalam pemahaman bersama meletakkan partai sebagai kendaraan untuk meraih akses ke sumber daya ekonomi. Sehingga akhirnya terjadi rivalitas politik yang tujuannya untuk bertahan atau merebut kepemimpinan di dalam partai.
Para elite partai yang mayoritas bersikap-berfikir pragmatis, menjadikan partai sebagai alat meniti karir, alat “cari makan dan jabatan”. Karena figur pemimpin partai membawa kepentingan kaukus elite-nya, sedangkan kaukus yang gagal menempatkan tokohnya menjadi ketua umum akan tersingkir dari kepengurusan partai. Berarti karir politik mereka tamat. Untuk mempertahankan eksistensi dan karir politik, akhirnya mereka—-kaukus elite/kader—-yang kalah terdorong membentuk struktur tandingan kepengurusan partai dengan harapan bisa melakukan posisi tawar sekaligus jika memenangkan pertikaian yuridis di pengadilan dalam persoalan absah-tidaknya kepengurusan kembar, bisa menyelamatkan masa depan karir politiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar